Pendidikan dan Potensi Diri

PENDIDIKAN DAN POTENSI DIRI

  1. Pendahuluan.

Pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga berarti sebagai suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang peradabannya sangat sederhana sekalipun telah ada proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada semenjak munculnya peradaban umat manusia.[1] Sebab, semenjak awal manusia diciptakan upaya membangun peradaban selalu dilakukan. Manusia menciptakan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Melalui proses kependidikan yang benar dan baik maka cita-cita ini diyakini akan terwujud dalam realitas kehidupan manusia.

Dalam pendidikan terjadi proses pengembangan potensi manusiawi dan proses pewarisan kebudayaan. Pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan banyak individu yang berperilaku pendidikan. Perilaku ini diwujudkan oleh siapapun yang yang terlibat dalam pendidikan, seperti pendidik, peserta didik, pengelola pendidikan, administrator pendidikan, perencana pendidikan, peneliti pendidikan, dan lingkungan pendidikan.[2]

Potensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dikembangkan.[3] Potensi adalah merupakan kemampuan dasar yang belum terungkap. Setiap manusia mempunyai potensi untuk mengembangkan dirinya secara berbeda. Untuk pengungkapan itu diperlukan suatu kondisi di luar dirinya. Lembaga pendidikan adalah merupakan suatu lembaga formal yang mempunyai tugas utama untuk mengungkap dan mengembangkan potensi diri setiap peserta didik. Maka itu dalam pembinaan dan evaluasi peserta didik seharusnyalah menggunakan pendekatan individu, tidak general. Pola pendekatan semacam ini adalah merupakan pola pendekatan yang manusiawi, sebab setiap peserta didik adalah merupakan subyek, bukan obyek. Berbeda dengan pendekatan general yang mekanistik, yang memahami manusia (dalam hal ini peserta didik) sebagai obyek yang harus tunduk pada kekuasaan-kekuasaan di luar dirinya, yang mana mereka digiring ke arah tertentu dengan kekuatan yang mungkin saja di luar kemampuan dirinya atau mungkin tiada disukainya, dan segala ukuran keberhasilan pun tunduk pada ukuran-ukuran yang ditentukan di luar dirinya, tiada jalan lain.

Semestinya setiap individu peserta didik berhak untuk mengembangkan dirinya sesuai potensinya secara alamiah, wajar, tanpa tekanan ataupun ancaman dan bayang-bayang ketakutan dari teror lembaga yang mengatasnamakan pendidikan, yang mesti mereka jalani, mau/tidak mau. Dari situ pula reputasi dirinya dipertaruhkan, stigma bisa datang dengan sendirinya sebagai hukuman-hukuman yang sangat tidak adil, padahal mereka tiada lain merupakan korban daripada sikap otoriter penguasa, peletak dasar konsep pendidikan formal yang tiada melihat potensi cemerlang dirinya secara individu. Dari situlah maka peserta didik dipaksa dengan dipacu untuk menyesuaikan diri dengan kehendak di luar dirinya.

Para pakar pendidikan membangun berbagai teori tentang perkembangan manusia yang masing-masing mempunyai fokus yang berbeda. Bahkan teori ini telah timbul menjadi semacam aliran dalam pendidikan. Beberapa aliran yang terkenal ialah : Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi. Titik tolak perbedaan masing-masing aliran ini terletak pada faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia : apakah perkembangan manusia itu ditentukan oleh faktor dasar pembawaan (nativisme) ataukah oleh faktor ajar, lingkungan (empirisme), atau kedua-duanya saling pengaruh-mempengaruhi (konfergensi).[4] Dari ketiganya, aliran yang ketigalah yang sekarang banyak dianut oleh para ahli di bidang pendidikan.

Dari fenomena di atas, dalam makalah ini akan dibahas tentang teori-teori perkembangan, pengertian potensi diri, faktor penghambat pengembangan potensi diri, peran guru dan peserta didik dalam mengembangkan potensi diri, serta perlunya alternatif ke arah pola pendidikan yang alami yang mampu mengembangkan potensi diri.

 

  1. Pembahasan.

Belajar, perkembangan dan pendidikan merupakan hal yang menarik untuk dipelajari. Ketiga gejala tersebut terkait dengan pembelajaran. Perkembangan dialami dan dihayati oleh individu siswa. Sedangkan pendidikan merupakan interaksi. Dalam kegiatan interaksi tersebut, pendidik atau guru bertindak mendidik si peserta didik atau siswa. Tindak mendidik tersebut tertuju pada perkembangan siswa menjadi mandiri. Untuk dapat berkembang menjadi mandiri, siswa harus belajar.[5]

  1. Teori Perkembangan.

Pada umumnya teori perkembangan berkisar pada persoalan yang berhubungan dengan pengaruh pembawaan dan lingkungan hidup bagi perkembangan individu. Di bawah ini akan dikemukakan  beberapa teori yang sedikit banyak mempunyai pengaruh terhadap praktek-praktek pendidikan.

 

 

  1. Teori nativisme.

Menurut teori ini  anak sejak lahir telah membawa sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu. Sifat-sifat dan dasar-dasar yang dibawa sejak lahir itu dinamakan pembawaan. Sifat pembawaan itu mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan individu. Pendidikan dan pengaruh lingkungan hidup hampir-hampir tidak ada terhadap perkembangan anak. Akibatna para ahli pengikut paham nativisme mempunyai pendangan yang pesimistis terhadap pengaruh pendidikan.ahli yang mengikuti pendapat ini diantaranya Schopenhouer dan Lambrose. Pada umumnya teori nativismesekarang telah ditinggalkan orang.[6]

  1. Teori empirisme.

Menurut teori ini manusia tidak memiliki pembawaan. Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor dari luar atau faktor lingkungan hidup dan pendidikan. Salah seorang pelopor teori ini adalah John Locke, seorang ahli filsafat  orang Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Ia mengatakan bahwa anak lahir seperti kertas putih yang belum mendapatkan coretan sedikitpun. Akan dijadikan apa kertas itu terserah kepada yang menulisnya. Teori John Locke itu disebut teori “Tabularasa”. Tokoh lain yang mempunyai pendirian seperti itu adalah Watson, pendiri psikologi Behaviourisme di Amerika.[7]

  1. Teori konvergensi.

Aliran ini dipelopori oleh William Stern. Aliran ini mengakui kedua-duanya. Jadi pendidikan itu perlu sekali, tetapi semua itu terbatas karena bakat dari anak didik. Seolah-olah aliran ini campuran dari aliran nativisme dan empirisme. Tetapi lebih menekankan kepada pendidikan.[8]

  1. Pengertian Potensi Diri.

Potensi diri adalah kemampuan dan kekuatan yang dimiliki oleh seseorang baik fisik maupun mental yang dimiliki seseorang dan mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan bila dilatih dan ditunjang dengan sarana yang baik, sedangkan diri adalah seperangkat proses atau ciri-ciri proses fisik, perilaku dan psikologis yang dimiliki.

Kekhasan potensi diri yang dimiliki oleh seseorang berpengaruh besar pada pembentukan pemahaman diri dan konsep diri. Ini juga terkait erat dengan prestasi yang hendak diraih didalam hidupnya kelak. Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dalam konteks potensi diri adalah jika terolah dengan baik akan memperkembangkan baik secara fisik maaupun mental. Aspek diri yang dimiliki seseorang yang patut untuk diperkembangkan antara lain:

  1. Diri fisik : meliputi tubuh dan anggotanya beserta prosesnya.
  2. Proses diri : merupakan alur atau arus pikiran, emosi dan tingkah laku yang konstan.
  3. Diri sosial : adalah bentuk fikiran dan perilaku yang diadopsi saat merespon orang lain dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang utuh.
  4. Konsep diri : adalah gambaran mental atau keseluruhan pandangan seseorang tentang dirinya.

Setiap individu memiliki potensi diri, dan tentu berbeda setiap apa yang dimiliki antara satu orang dengan orang lain. Potensi diri dibedakan menjadi dua bentuk yaitu potensi fisik dan potensi mental atau psikis.

Potensi diri fisik adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan apabila dilatih dengan baik. Kemampuan yang terlatih ini akan menjadi suatu kecakapan, keahlian, dan ketrampilan dalam bidang tertentu. Potensi diri fisik akan semakin berkembang bila secara intens dilatih dan dipelihara.

Potensi diri psikis adalah bentuk kekuatan diri secara kejiwaan yang dimiliki seseorang dan memungkinkan untuk ditingkatkan dan dikembangkan apabila dipelajari daan dilatih dengan baik. Bentuk potensi diri psikis yang dimiliki setiap orang adalah :

  1. Intelegent Quotient ( IQ )

Kecerdasan intelektual adalah bentuk kemampuan individu untuk berfikir, mengolah dan berusaha untuk menguasai lingkungannya secara maksimal secara terarah. Menurut Laurel Schmidt dalam bukunya Jalan pintas menjadi 7 kali lebih cerdas ( Dalam Habsari 2004 : 3) membagi kecerdasan dalam tujuh macam, antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Kecerdasan fisual/spesial (kecerdasan gambar) : profesi yang cocok untuk tipe kecerdasan ini antara lain arsitek, seniman, designer mobil, insinyur, designer graffis, komputer, kartunis, perancang interior dan ahli fotografi.
  2. Kecerdasan verbal/linguistik (kecerdasan berbicara): profesi yang cocok bagi mereka yang memiliki kecerdasan ini antara lain: pengarang atau penulis, guru. penyiar radio, pemandu acara , presenter, pengacara, penterjemah, pelawak.
  3. Kecerdasan music : profesi yang cocok bagi yang memiliki ini adalah penggubah lagu, pemusik, penyanyi, disc jokey, guru seni suara, kritikus musik, ahli terapi musik, audio mixier (pemandu suara dan bunyi).
  4. Kecerdasan logis/matematis (Kecerdasan angka) ; profesi yang cocok bagi mereka yang memiliki kecerdasan ini adalah ahli metematika , ahli astronomi, ahli pikir, ahli forensik, ahli tata kota, penaksir kerugian asuransi, pialang saham, analis sistem komputer, ahli gempa.
  5. Kecerdasan interpersonal (cerdas diri). Profesi yang cocok bagi mereka yang memiliki kecerdasan ini adalah ulama, pendeta, guru, pedagang , resepsionis ,pekerja sosial, pekerja panti asuhan, perantara dagang,pengacara, manajer konvensi, ahli melobi, manajer sumber daya manusia.
  6. Kecerdasan intrapersonal (cerdas bergaul) : profesi yang cocok bagi mereka yang memiliki kecerdasan ini adalah peneliti, ahli kearsipan, ahli agama, ahli budaya, ahli purbakala, ahli etika kedokteran.
    1. Emotional Quottient ( EQ ) atau kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengendalikan, dan menata perasaan sendiri dan orang lain secara mendalam sehingga kehadirannya menyenangkan dan didambakan oleh orang lain. Daniel Goleman di dalam buku kecerdasan emosi memberi tujuh kerangka kerja kecakapan ini, yaitu:

  1. Kecakapan pribadi yaitu kecakapan dalam mengelola diri sendiri.
    1. Kesadaran diri yaitu bentuk kecakapan utuk mengetahui kondisi diri sendiri dan rasa percaya diri yang tinggi.
    2. Pengaturan diri : yaitu bentuk kecakapan dalam mengendalikaan diri dan mengembangkan sifat dapat dipercaya , kewaspadaan , adaptabilitas, dan inovasi.
    3. Motivasi : yaitu bentuk kecakapan untuk meraih prestasi , berkomitmen, berinisiatif, dan optimis.
    4. Kecakapan sosial yaitu bentuk kecakapan dalam menentukan seseorang harus menangani suatu hubungan.
    5. Empati : yaitu bentuk kecakapan untuk memahami orang lain, berorientasi pelayanan dengan mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman orang lain dan kesadaran politis.
    6. Keterampilan sosial yaitu bentuk kecakapan dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain . kecakapan ini meliputi pengaruh , komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan kooperasi serta kemampuan tim.
      1. Adversity quotient ( AQ) Atau kecerdasan dalam menghadapi kesulitan.

Adalah bentuk kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup. Paul G Stoltz dalam Adversity Quotient membedakan tiga tingkatan AQ dalam masyarakat :

  1. Tingkat quiters ( orang yang berhenti). Quiters adalah orang yang paling lemah AQ nya. Ketika ia menghadapi berbagai kesulitan hidup ,ia berhenti dan langsung menyerah.
  2. Tingkat Campers ( Orang yang berkemah ). Campers adalah orang yang memiliki AQ sedang. Ia puas dan cukup atas apa yang telah dicapai dan enggan untuk maju lagi.
  3. Tingkat Climbers ( orang yang mendaki ). Climbers adalah orang yang memiliki AQ tinggi dengan kemampuan dan kecerdasan yang tinggi untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup.
    1. Spiritual Quotient ( SQ ) atau kecerdasan spiritual

Adalah sumber yang mengilhami dan melambungkan semangat seseorang dengan mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu (Agus Nggermanto, Quantum Quotient,2001). Menurut Damitri Mhayana dalam Habsari ,2004. Ciri-ciri seseorang yang memiliki SQ tinggi adalah sebagai berikut:

  1. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
  2. Mampu melihat kesatuan dalam keaneka ragaman.
  3. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
  4. Mampu mengelola dan bertahan dalam kessulitan dan penderitaan.

 

  1. Faktor Penghambat Pengembangan Potensi Diri.

Ada beberapa faktor penghambat berkembangnya potensi diri, antara lain:

  1. Lingkungan.

Lingkungan kadang-kadang menjadi penghambat pengembangan potensi diri. Sebagai contoh faktor senioritas dimana kita bergaul.

  1. Individu Sendiri.

Individu juga bisa menjadi faktor penghambat pengembangan potensi diri. Penyebabnya antara lain :

  1. Faktor tujuan hidup yang belum/tidak tergambar dengan jelas.
  2. Faktor motivasi dan faktor keengganan untuk menelaah diri.
  3. Kadang-kadang manusia takut untuk menerima kenyataan bahwa ia memiliki kekurangan ataupun kelebihan pada dirinya.
    1. Faktor Usia.

Kadang-kadang orang yang sudah tua tidak melihat bahwa kearifan dan kebijaksanaan dapat dicapainya. Mereka cenderung memandang bahwa usia muda lebih hebat karena produktif. Begitu juga sebaliknya.

 

  1. Peran Guru dan Peserta Didik dalam Mengembangkan Potensi Diri.

 

Dua kelompok manusia yang kita lihat terlibat secara langsung dalam kegiatan pendidikan adalah guru dan peserta didik. Masing-masing pihak berada dalam suatu interaksi, namun dengan peranan yang berbeda. Guru sebagai penolong berusaha member bantuan kepada peserta didik untuk mengembangkan dirinya secara utuh bardasarkan kasih yang membarui. Guru berada di antara peserta didik dan Tuhan yang memberinya tanggung jawab. Guru dengan ilmu pengetahuan yang terus menerus dikuasainya beserta dengan seluruh pengalamannya mengantarkan peserta didik ke arah pengenalan akan ciptaan Tuhan dengan segala hukum-hukum-Nya.[9]

Guru bukanlah orang yang mahatahu, karena itu ia harus selalu terbuka, termasuk kepada peserta didik untuk bersama-sama menggumuli sesuatu yang ingin diketahui. Pada pihak lain, peserta didik bukanlah makhluk bodoh. Ia adalah manusia ciptaan seperti halnya dengan guru. Hanya ia belum berkembang setinggi seperti gurunya. Ia telah diberi potensi untuk itu, dan guru berkewajiban untuk mengembangkannya. Oleh karena itu, guru harus mengenal potensi-potensi yang dimiliki olah peserta didik untuk dikembangkan.[10]

Peran peserta didik di dalam proses belajar-mengajar ialah berusaha secara aktif untuk mengembangkan dirinya di bawah bimbingan guru. Kegiatan ini disebut kegiatan belajar. Guru hanya menciptakan situasi yang memaksimalkan kegiatan belajar peserta didik. Kegiatan pendidikan akan mengalami kegagalan kalau kegiatan mengajar tidak menghasilkan kegiatan belajar. Oleh karena itu, fungsi belajar peserta didik sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Peserta didik bukanlah objek pendidikan, karena sebagai manusia ia adalah subjek dalam segala modalitas. Oleh karena itu, ia harus diperlakukan dan memperlakukan dirinya bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Ia adalah manusia yang di dalam proses belajar-mengajar mengalami proses perubahan untuk menjadikan dirinya sebagai seorang indivudu dan personal yang mempunyai kepribadian dan dengan kemampuan tertentu. Bantuan guru, orang tua, dan masyarakat dalam hal ini sangat menentukan[11].

 

 

  1. Perlunya Alternatif ke Arah Pola Pendidikan yang Alami.

 

Pengetrapan sistem pembelajaran peserta didik aktif merupakan suatu langkah maju, namun tentu tidak hanya sekedar aktif dalam pengertian semu dan parsial, melainkan harus azasi dan totalitas. Aktif dalam pengertian peserta didik harus dikondisikan aktif secara kodrati, aktif karena dorongan dari dalam dirinya secara alamiyah, untuk itu diperlukan kondisi yang bersifat individual. Pembinaan dan evaluasi diterapkan secara individual. Potensi akademik, bakat serta minat peserta didik betul-betul diperhatikan, oleh sebab itu penghargaan (reward) dalam berbagai bentuk, seperti pemberian sertifikat, stiker-stiker yang melambangkan penghargaan atas segala prestasi untuk berbagai bidang subyek, bahkan kalau perlu hadiah, sedapat mungkin memfasilitasi segala prestasi akademik, bakat serta minat daripada peserta didik. Guru mencermati potensi/prestasi akademik, bakat serta minat yang berjalan secara alami, untuk selanjutnya dikembangkan. Para peserta didik tidak dipaksa untuk menguasai bidang tertentu yang telah diterapkan oleh lembaga atau pemerintah (general), kemampuan adalah kemampuan dirinya secara alami, bukan karena tekanan-tekanan yang membebani peserta didik dan juga yang akan menyebabkan kerisauan orang tua. Semua dikondisikan secara wajar, alami, pengakuan atas kemampuan diri ditanamkan sejak dini (jujur diri), sehingga tidak perlu memaksakan diri lebih dari kemampuan. Setiap individu mempunyai kelebihan masing-masing, persoalannya bagaimana kita mesti memanfaatkan kemampuan itu, apa pun bentuknya. Ukuran prestasi bukanlah bagaimana peserta didik bisa memenuhi pesanan yang telah dipatok secara formal oleh lembaga pendidikan dan/atau pemerintah melainkan bagaimana peserta didik mampu mengembangkan potensi diri.

 

 

  1. Penutup.

 

Setiap manusia memiliki bermacam-macam potensi diri yang dapat dikembangkan. Dalam pendidikanpun tidak sedikit pihak-pihak yang terkait di dalamnya belum sepenuhnya mengembangkan dan menggunakan potensi yang ada pada dirinya. Hal ini terjadi dikarenakan mereka belum atau bahkan tidak mengenal potensi dirinya dan hambatan-hambatan dalam pengembangan potensi diri tersebut. Mampu mengembangkan potensi diri merupakan dambaan setiap individu. Mampukan seseorang mengembangkan potensi dirinya secara efektif ? Itu bergantung pada motivasi diri dari semua pelaku pendidikan, karena pengembangan potensi diri merupakan suatu proses yang sistematis dan bertahap dan melibatkan semua yang terkait dalam dunia pendidkan, sehingga setiap peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dimyati dan Mudjiono, 1999, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta.

Moh. Roqib, 2009, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, Yogayakarta, LkiS cet.1

Mustakim dan Abdul Wahib, 1991, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta cet. I

Sri Patmah Sukartini dan Mohammad Imam Faisal Baihaqi, 2007, Teori Psikologi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian I : Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung : IMTIMA

Sutari Imam Barnadib, 1984, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, cet. 2

W. Gulo, 2004, Strategi Belajar-Mengajar, Jakarta : Grasindo

 

 

 

 

 

PENDIDIKAN DAN POTENSI DIRI

    Makalah

Disajikan sebagai bahan diskusi

      Mata kuliah : Psikologi Perkembangan

     Desen Pengampu : Prof. DR. Mintarsih Danu Miharja, M.Pd.

 

 

 

 

          Disusun Oleh :

       MUCHAMAD NIDZOM

       NIM . 1410630060

 

      YUDI BUDIMAN

    NIM. 1410630061

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SYEKH NURJATI CIREBON

2011

 


[1] Moh. Roqib, 2009, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, Yogayakarta, LkiS cet. 1, hlm. 16.

[2] Sri Patmah Sukartini dan Mohammad Imam Faisal Baihaqi, 2007, Teori Psikologi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian I : Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung : IMTIMA hlm. 125

[3]  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, cet. 2 hlm. 697.

[4]  Ibid hlm. 61.

[5]  Dimyati dan Mudjiono, 1999, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta.

[6]  Mustakim dan Abdul Wahib, 1991, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta cet. I hlm. 33

[7]  Ibid hlm. 34.

[8]  Sutari Imam Barnadib, 1984, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta hlm. 66

[9]   W. Gulo, 2004, Strategi Belajar-Mengajar, Jakarta : Grasindo hlm. 22

[10] Ibid hlm. 23

[11] Ibid hlm. 23

Tinggalkan komentar